Penanggulangan bencana dan pengembangan: relokasi pasca bencana di Gunung Merapi

  • (Review dari seminar yang disajikan oleh Adelin Martinez, mahasiswa PhD dari Universitas Aix-Marseille Perancis, 13 Oktober 2017, IFI Yogyakarta (Institut Francais Indonesia, Yogyakarta)).

 

Adelin Martinez adalah mahasiswa antropologi yang ahli dalam bidang relokasi. Dia sudah pernah tinggal dan aktif meneliti kawasan ini sejak 2012. Ia memulai penelitian intensif di tahun 2014, dengan fokus penelitiannya yang berpusat pada masyarakat Palemsari, sebelumnya salah satu desa tertinggi di Merapi.

Letusan di tahun 2010 adalah letusan yang begitu merupakan bagi masyarakat Palemsari yang kehilangan segalanya.

Setelah letusan itu, Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) memetakan daerah yang paling berisiko dengan menggabungkan data seperti yang tentang topography dan morphology lokal dengan data tentang daerah yang terdampak oleh letusan dari catatan di masa lampau sampai sekarang. Pada peta yang dihasilkan dari semua informasi ini jadi kelihatan daerah sekitar Merapi yang paling beresiko pada saat tingkat aktifitas vulkanik naik sebagai peta yang disebutkan Kawasan Rawan Bencana (KRB) dengan tiga tingkat; level I, II dan III di mana level III itu daerah yang paling beresiko. Orang-orang yang dulunya bertempat tinggal di zona risiko tertinggi atau ‘KRB III’ dianggap paling berisiko untuk aliran awan panas atau “pyroclastic flow”. Karena dalam peta kawasan tersebut adalah Kawasan Rawan Bencana dan telah dibijakkan hukum, maka masyarakat atau siapapun dilarang untuk tinggal secara permanen dan dilarang dari pembangunan fisik dalam bentuk apapun. Semua penduduk yang tinggal di daerah ini yang terdampak oleh erupsi pada tahun 2010 dijadikan layak untuk direlokasi .

Program relokasi pemerintah dilaksanakan secara wajib biar memindahkan semua penduduk dari daerah berisiko tinggi agar mengurangi resiko. Seluruh 81 KK Dari Palemsari dan juga masyarakat lain yang paling terdampak oleh erupsinya yang sudah satu tahun setengah bertempat tinggal di penampungan sementara, dipindahkan ke lingkungan baru yang berjarak 5km dari desa aslinya ke sebuah daerah yang disebut desa Karang Kendal. Program ini bertujuan untuk menciptakan dan mendukung kesempatan sosio-ekonomi yang baru untuk memastikan mata pencaharian dan bisa dipertahankan. Relokasi didanai oleh  Rekontruksi Jawa yang disumbangkan oleh Bank Asia, Bank Eropa dan Bank Dunia.

Penduduk ini terbiasa dengan gaya hidup yang tradisional, dengan mata pencahariannya yang paling umum dari perternakan dan pertanian skala kecil. Dari wilayah yang dulu meliputi 40 hectares, semua penduduk Palemsari direlokasi ke daerah yang luasanya sebesar 13,000 m2. Langsung kami bisa lihat ada disparities yang pasti akan menghalangi masyarakat tersebut dari mempertahankan mata pencaharian mereka dan budaya penggunaan tanah dengan cara yang sama.

Sekarang ada tiga sumber utama pendapatan bagi penduduk untuk mendukung pemulihan mereka:

1) bekerja di industri pariwisata ‘Lava tour’ yang sekarang ramai pasca-bencana baik sebagai pemandu atau membangun toko di tanah atau di dekat bekas rumah.

2) menggali dan menjual pasir untuk dijual sebagai bahan konstruksi .

3) memanfaatkan hutan di sekitar desa (mengumpulkan kayu atau rumput untuk ternak dll).

Secara tradisional ‘rumah’ itu tidak hanya suatu tempat tinggal, tetapi juga tempat masyarakat bekerja. Untuk yang direlokasi, desa relokasinya itu menjadi rumah mereka; namun bekas rumah mereka menjadi tempat bekerja. Meskipun program relokasi telah memaksa perubahan tempat tinggal, secara sehari-hari warga masih melakukan kegiatan zona-zona risiko tinggi karena kebutuhan mereka untuk mempertahankan mata pencaharian dan membuat cara untuk pemulihan setelah letusan.

Untuk mengakses rumah bekas semua penduduk harus bisa gesit, biasanya dengan sepeda motor. Namun jalan-jalan yang digunakan dalam keadaan rusak dan ramai. Perbaruan atau perbaikan jalan-jalan ini juga tidak mungkin oleh karena posisi jalurnya yang terletak di zona KRB3 di mana atauranya dengan jelas melarangkan pembangunan fisik. Tidak ada bertanggungjawaban untuk perbaikan walaupun saat ada aktifitas dari Merapi jalur ini akan menjadi rute evakuasi utama. Akibatnya, syarat hukum dari undang-undang KRB III justru meningkatkan risiko bagi masyarakat yang sudah ikut relokasi tetapi masih harus bekerja di daerah ini setiap hari. Dengan perluasan zona KRB III juga menyebabkan kesulitan untuk pertumbuhan di masa depan pariwisataan Merapi dan untuk melindungi keselamatan pengunjung saat ini. Peraturan yang ada justru menghalangi pengembangan perencanaan dini untuk menyiapkan dan jalur evakuasi yang layak biar siaga jika saat bencana lain muncul.

Studinya Adelin telah mengidentifikasi bahwa ada kelalaian dan kekurangan yang mengkhawatirkan antara pertimbangan negara dan kepentinan masyarakat lokal. Persepsi waktu, ruang, dan risiko sudah begitu berbeda dan belum ada pengakuan bahwa untuk berjalan tanpa melibatkan masyarakat itu tidak efektif.

Adelin menyimpulkan bahwa kebijakan pembangunan tanah yang lebih holistik dengan pendekatan yang lebih dianggap, reflektif dan tidak memihak mungkin akan menujukan resolusi yang paling optimal.

Perencancaan yang efektif membutuhkan kesadaran akan berbagai faktor lain yang wajar dan tidak hanya mempertimbangkan risiko dari alam saja. Aparat dan kebijakan memerlukan adaptasi terhadap kebutuhan sehari-hari masyarakat yang ada untuk sepenuhnya mencapai keperluan mereka dan biar menghindari merugikan mereka lebih banyak atau malah mengekspos mereka pada risiko yang lebih besar lagi.

(Terima kasih kepada Mas Galih untuk foto-fotonya!)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *